tobehonesttheatre.com – Jackie Chan kritik industri film 2025 dalam sesi tanya jawab di Festival Film Locarno, sebut perfilman kini cuma kejar profit, bukan kualitas. Ikon laga berusia 71 tahun ini, dengan pengalaman lebih dari 100 film, soroti perubahan negatif industri selama puluhan tahun kariernya. Oleh karena itu, artikel ini ulas pandangan Chan, konteks perfilman 2025, dan reaksinya soal teknologi serta generasi muda, berdasarkan informasi terkini per 16 September 2025.
Jackie Chan Kritik Industri Film: Fokus Bisnis, Bukan Keren
Jackie Chan kritik industri film modern yang didominasi studio besar bermental pebisnis. Chan sebut, “Sekarang, studio bukan pembuat film, tapi pebisnis. Mereka investasi US$40 juta, pikir balik modal, bukan buat film bagus.” Dengan demikian, film blockbuster 2025 ikuti formula waralaba “terlalu besar untuk gagal,” seperti sekuel superhero atau remake. Selain itu, Chan nilai film lama seperti Police Story (1985) lebih kreatif dan otentik.
Meski begitu, ia akui 2025 punya karya orisinal seperti The Substance dan Emilia Pérez, yang raih pujian di festival. Namun, pasar tetap dikuasai CGI dan waralaba. Akibatnya, inovasi cerita indie sulit bersaing. Untuk itu, pandangan Chan resonansi dengan fans yang rindu film aksi praktikal era 80-90an.
CGI dan Waralaba: Penyakit Perfilman Menurut Chan
Chan soroti ketergantungan industri pada CGI, yang kurangi keaslian aksi. Misalnya, film laga modern pakai efek digital untuk stunt, beda dengan karyanya seperti Project A (1983), di mana ia lakukan 90% aksi tanpa CGI. Selain itu, studio besar hindari risiko, pilih waralaba aman seperti Marvel atau Fast & Furious ketimbang cerita baru. Oleh karena itu, Chan sebut sulit buat film bagus di era ini.
Data box office 2025 tunjukkan dominasi waralaba: Inside Out 2 (US$1,6 miliar), Deadpool & Wolverine (US$1,3 miliar). Film indie seperti Anora (US$28 juta) kalah jauh. Dengan demikian, Chan benar soal orientasi profit. Untuk itu, kritiknya ajak refleksi soal keseimbangan kreativitas dan bisnis.
Chan dan Generasi Muda: Sulit Paham Teknologi dan Bahasa
Jackie Chan kritik industri film tak berhenti di soal bisnis. Ia juga akui kesulitan komunikasi dengan aktor muda saat syuting Ride On (2023). “Aku kaget lihat 40 kamera untuk reality show. Aku tak paham bahasa anak muda,” ujarnya. Selain itu, ia hindari media sosial dan aplikasi seperti WeChat, sebut ponsel buang waktu. Akibatnya, Chan pilih fokus latihan bela diri, baca naskah, dan dengar puisi.
Meski begitu, generasi muda dominasi audiens 2025, dengan 60% penonton bioskop usia 18-34 tahun (data Statista). Untuk itu, pandangan Chan soal teknologi mungkin ketinggalan, tapi tunjukkan dedikasinya pada seni. Dengan demikian, ia tetap relevan meski kritis pada tren digital.
Konteks Perfilman 2025 dan Relevansi Kritik Chan
Tahun 2025, perfilman global raup US$35 miliar, tapi didominasi waralaba dan remake. Misalnya, Mufasa: The Lion King dan Sonic 3 jadi penutup tahun terlaris. Selain itu, festival seperti Locarno dan Cannes soroti film orisinal, tapi sulit tembus pasar luas. Oleh karena itu, kritik Chan relevan, terutama di Asia, di mana remake dan CGI juga kuasai perfilman Hong Kong dan Indonesia.
Akibatnya, diskusi di X ramai soal nostalgia aksi praktikal Chan vs CGI modern. Dengan demikian, pandangannya dorong perfilman kembali ke cerita otentik. Untuk itu, penggemar harap proyek Chan berikutnya, seperti Rush Hour 4 (dirumorkan 2026), bawa semangat klasik.
Kesimpulan
Jackie Chan kritik industri film 2025 karena fokus cari duit, kurang kreativitas, dan bergantung pada CGI serta waralaba. Pandangannya soal studio pebisnis dan kesulitan paham generasi muda resonansi dengan fans. Meski begitu, 2025 punya karya orisinal yang beri harapan. Oleh karena itu, kritik Chan ajak industri refleksi untuk keseimbangan profit dan seni. Dengan demikian, warisan laga Chan tetap relevan. Untuk itu, penggemar nantikan proyeknya di tengah perfilman modern.